Suatu malam saya mampir ke Los Hermanos, sebuah klub malam Latino. Sebagian besar pengunjung berjoget bersama para perempuan yang melayani minuman. Saya mengambil tempat duduk yang memungkinkan saya melihat aksi para penari.
Tak seberapa lama seorang laki-laki ikut berbagi meja dengan saya. Ia menunjukkan wajah cerah, meski wajahnya bergurat kelelahan. Ia menyalami saya dan mengajak saya mengobrol. Ia lancar berbahasa Spanyol, namun terbata-bata bicara Inggris. Saya tidak malu-maluin banget bicara Inggris, namun tebak sana tebak sini saat mendengarkan Spanglish (Spanish-English) dia.
"Saya seorang ayah yang memiliki seorang istri dan lima orang anak. Saya berasal dari Guatemala dan sudah hampir sembilan tahun tinggal di daerah sekitar sini. Saya meninggalkan Guatemala karena kebutuhan keluarga dan bekerja serabutan untuk kepentingan keluarga. Saya selalu rindu pulang ke rumah dan berjumpa dengan mereka. Namun saya menahan diri untuk pulang karena saya tahu mereka membutuhkan banyak dukungan finansial dari saya."
Kisahnya tersela dengan permintaan bir. Ia berkali-kali menawari saya untuk membelikan bir malam itu. Namun saya menolaknya secara halus. Persahabatan baru malam itu jangan sampai dikacaukan oleh tegukan bir.
Saya lupa berapa kali pelayan bar itu mendekati meja kami untuk mengambil botol-botol bir kosong. Namun saya ingat sahabat baru itu berkali-kali mengulang kisah kecintaannya pada anak dan istri di Guatemala.
Sources:
http://www.worldpress.org/images/20061009-guatemala.jpg
Tak seberapa lama seorang laki-laki ikut berbagi meja dengan saya. Ia menunjukkan wajah cerah, meski wajahnya bergurat kelelahan. Ia menyalami saya dan mengajak saya mengobrol. Ia lancar berbahasa Spanyol, namun terbata-bata bicara Inggris. Saya tidak malu-maluin banget bicara Inggris, namun tebak sana tebak sini saat mendengarkan Spanglish (Spanish-English) dia.
"Saya seorang ayah yang memiliki seorang istri dan lima orang anak. Saya berasal dari Guatemala dan sudah hampir sembilan tahun tinggal di daerah sekitar sini. Saya meninggalkan Guatemala karena kebutuhan keluarga dan bekerja serabutan untuk kepentingan keluarga. Saya selalu rindu pulang ke rumah dan berjumpa dengan mereka. Namun saya menahan diri untuk pulang karena saya tahu mereka membutuhkan banyak dukungan finansial dari saya."
Kisahnya tersela dengan permintaan bir. Ia berkali-kali menawari saya untuk membelikan bir malam itu. Namun saya menolaknya secara halus. Persahabatan baru malam itu jangan sampai dikacaukan oleh tegukan bir.
Saya lupa berapa kali pelayan bar itu mendekati meja kami untuk mengambil botol-botol bir kosong. Namun saya ingat sahabat baru itu berkali-kali mengulang kisah kecintaannya pada anak dan istri di Guatemala.
Sources:
http://www.worldpress.org/images/20061009-guatemala.jpg
No comments:
Post a Comment