Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Monday, September 29, 2008

Teologi Feminis Poskolonial

Kwok Pui-lan

TEOLOGI FEMINIS POSKOLONIAL


Kita seringkali membicarakan pembebasan

tanpa menyertakan subyek perempuan.

Kwok Pui-lan


Beragam reaksi negatif meledak saat penulis menanyakan kepada rekan mahasiswa mengenai poskolonialisme, feminisme poskolonial, dan teologi feminis poskolonial. Seorang sahabat mengaku langsung membanting buku dengan embel-embel poskolonialisme setelah membaca halaman-halaman awalnya. Sahabat lain letih saat mengikuti logika akademik poskolonialisme. Seorang yang lain mengeluhkan poskolonialisme sebagai karya akademik yang rumit dan abstrak. Seorang sahabat yang mengambil mata kuliah poskolonialisme menyatakan poskolonialisme meny(el)idik(i) konsep-konsep baku yang selama ini diterima tanpa kritik oleh masyarakat. Ia lalu menyalin kalimat Homi K. Bhabha mengenai poskolonialitas


Karya ademik poskolonial memberikan kesaksian kepada kita mengenai ketimpangan representasi budaya dalam konteks otoritas politik dan sosial di dalam tatanan dunia modern. Perspektif poskolonial muncul dari kesaksian kolonial negara-negara Dunia Ketiga dan dari minoritas di wilayah geopolitik Timur, Barat, Utara, dan Selatan. Mereka menyelinap ke dalam diskursus modernitas yang ideologis karena berusaha untuk memberikan normalitas hegemonik terhadap ketimpangan perkembangan dan perbedaan.


Seorang sahabat yang aktif dalam aktivitas sosial-politik mencibir poskolonialisme sebagai bualan akademik dari perempuan Asia yang hidup di diaspora dan duduk di lingkungan akademik Barat. Karya poskolonial tajam secara akademik, namun tumpul relevansinya terhadap persoalan kemanusiaan Asia.


Tanda Pengenal Baru

Kwok Pui-lan memandang poskolonialisme merupakan bidang baru yang mencari pondasi akademik. Ia kesulitan tambahan saat menyusun teologi feminis poskolonial. Pui-lan mengasah teologinya dengan banyak meminjam konsep dari feminis poskolonial. Ia kadang-kadang menceburkan diri dalam diskusi panjang berkaitan konsep-konsep dasar feminisme dan poskolonialisme. Ia memahami teologi feminis poskolonial sebagai surat balasan kepada teologi yang memeluk norma Eurosentrik, kelas menengah, berkulit putih. Teologi feminis poskolonial memiliki pekerjaan rumah besar untuk mendefinisikan horizon teoritik, materi, dan masa depannya. Di tengah jerih lelahnya menyusun teologi feminis poskolonial, ia ingin pembaca menangkap harapan awal teologi feminis poskolonial. Ia merupakan perlawanan terhadap sejarah dan teologi yang menghilangkan perempuan. Ia menghendaki perempuan mendaku diri sebagai subyek sejarah dan teologi.

Sebagian teolog, bahkan teolog perempuan, belum menerima nama teologi feminis poskolonial. Sebagian teolog perempuan Asia menolak imbuhan feminisme karena berkonotasi mewakili kepentingan kelas menengah radikal perempuan Barat. Sebagian lagi menyadari kebaruan pendekatan poskolonial untuk kemudian digunakan pencerahannya dalam menganalisis kondisi perempuan dan doktrin kristiani. Istilah poskolonial pada awalnya merujuk pada kepustakaan akademik selama dan sesudah periode kolonialisme Inggris oleh pengarang di Asia dan Afrika. Mereka menulis surat balasan sebagai tanggapan terhadap kolonialisme di masa lalu dan efek cara bepikir kolonial di masa kini. Perempuan kristiani Dunia Ketiga dan asli menulis teologi selama beberapa waktu, meskipun barangkali tidak menamainya sebagai teologi feminis poskolonial. Pada saat bersamaan, kita hendaknya tidak memukul rata semua karya akademik dari perempuan kristiani dari bekas koloni sebagai teologi feminis kolonial. Kwok Pui-lan menyebut karya teolog feminis lain sebagai poskolonial sejauh pengarangnya sendiri menyebutnya demikian. Karena berada dalam tahap embrional, teolog feminis poskolonial perlu melukis horizon teoretik, materi, dan arah masa depannya.


Subyek Historis dan Teologis

Kwok Pui-lan melukis ulang dirinya, perempuan Cina, dan perempuan kristiani Cina. dan perempuan kristiani Cina. Ia melihat perempuan berada di tepian sejarah dan Gereja. Ia justru melihat tepian sebagai titik berangkat ideal dalam berteologi feminis poskolonial. Ia melihat tepian secara positif sebagai tempat perlawanan. Tepian menjauhkannya dari pengaruh negatif teologi yang dikerjakan kelas menengah Barat yang eurosentrik.

Aku penyair Allah feminis Asia yang berteologi dari tepian. Sebagai warga Hongkong, aku juga berada di tepian karena Hong Kong, sebagai Mutiara Timur, merupakan ruang dan waktu pinjaman. Aku lahir sebagai orang Cina, namun hidup di bawah rezim Inggris. Aku umat kristiani Asia, namun menjadi liyan dalam geopolitik kristiani. Aku bagian dari mayoritas perempuan kristiani yang dibekap suaranya di gereja. Aku penyair Allah dari Cina yang menyusun teologi dari perspektif feminis.

Teolog semakin memperhitungkan tepian atau marjinalitas sebagai lensa pandang refleksi. Jung Young Lee menggunakan marginalitas sebagai kunci dalam menyusun teologi multikultural. Lee melihat posisi setara tepian dan pusat. Tanpa tepian tak ada pusat dan demikian pula sebaliknya. Ketika kita menyebut tepian, kita pada saat bersamaan mengakui keberadaan pusat. Lee mengajukan perspektif tepian karena masyarakat cenderung melihat dari sisi pusat dan mengabaikan tepian. Penekanan obsesif pada kutub pusat dan pengabaikan pada kutub tepian mengakibatkan penindasan. Lee secara sadar menekankan perspektif tepian karena ia ingin mengembalikan pusat otentik yang liberatif. Peralihan dari perspektif pusat ke tepian tidak akan menciptakan pusat baru di tepian. Perspektif pusat menciptakan penindasan karena berdasar pada nilai hirarkis. Perspektif tepian menciptakan pembebasan karena beradasar pada prinsip kesetaraan.

Kwok Pui-lan melihat dirinya dan perempuan krsitiani Cina sebagai subyek diasporik. Perempuan mengalami dislokasi sekaligus relokasi karena berulang kali menyeberang garis batas. Diskurs diasporik dalam studi poskolonial mempertanyakan konstruksi tradisional pusat dan pinggiran. Akademisi poskolonial menangkap gerakan dinamik menjauhi pusat (decentered) dan kemajemukan pusat (multi-centered). Perempuan sebagai subyek diasporik mengalami dislokasi dan relokasi sekaligus. Mereka bernegosiasi dengan masa lalu yang ambivalen dan pada saat yang sama berpegang pada fragmen kenangan, budaya, dan sejarah demi masa depan yang berbeda. Pui-lan menilik fenomena perempuan Cina yang memeluk agama kristiani pada tahun 1860-an. Ia ingin mengetahui alasan perempuan Cina yang dikenal patuh pada agama dan tradisinya melakukan pembangkangan dengan memeluk agama dan tradisi krsitiani. Ia juga menilik kehidupan perempuan kristiani Cina yang hidup di dalam Gereja yang masih segregatif terhadap perempuan. Ia juga menilik sikap perempuan kristiani Cina terhadap kitab suci dan ibadat yang diselenggarakan gereja. Ia tertarik melihat peran perempuan dalam Gereja dan masyarakat ketika Cina mengalami semi-kolonisasi.

Saat membaca teks tentang perempuan kristiani Cina, Kwok Pui-lan menyadari keragaman perspektif. Sejak Republik Rakyat Cina berdiri pada tahun 1949, para ahli sejarah menulis ulang Cina seturut garis partai Marxis-Leninis-Maois. Hingga liberalisasi kebijakan Cina pada akhir 1970-an, otoritas Republik Rakyat Cina mengebawahkan Gereja dengan pewartaan Injilnya sebagai anjing imperialisme. Rezim Cina menutup pintu-pintu gereja selama periode revolusi budaya (1966 – 1976). Mereka mencurigai, mencederai, melecehkan, memenjarakan, dan mengusir anggota Gereja. Mereka menabukan sumbangan Gereja kristiani pada peradaban Cina. Pada tahun-tahun belakangan, penilaian lebih seimbang muncul setelah para ahli sejarah melepaskan diri dari ketertundukan untuk hanya menulis sejarah dari perspektif Marxis-Leninis-Maois. Para penginjil Barat juga menulis melakukan proyek penulisan sejarah Cina. Memoir, laporan, surat, dan buku mereka sumbangan Gereja untuk mengangkat peradaban Cina. Sebagian penginjil yang kemudian menjadi ahli berkaitan persoalan Cina menafsirkan budaya dan sejarah Cina sebagai perluasan dari peradaban Barat. Mereka mengebawahkan rakyat Cina sebagai obyek dalam drama besar ekspansi kolonial Barat.

Sejak periode 1970-an para ahli sejarah laki-laki mempertanyakan penulisan sejarah Cina dengan pendekatan Marxis-Lenininis-Maois, penginjilan, dan model pengaruh peradaban barat. Mereka menulis Gereja Cina namun menggambarkan Gereja berparas laki-laki. Para penulisnya belum menempatkan perempuan sebagai bagian integral dari perjumpaan antara Cina dan Gereja. Dalam menulis ulang sejarah Gereja Cina, Kwok Pui-lan menolak gambaran hitam putih perempuan kristiani Cina entah sebagai korban atau sebaliknya sebagai tokoh. Ia peka terhadap pergumulan mereka sebagai perempuan kristiani Cina. Pui-lan memperhatikan bahasa tubuh, bahkan seksualitas perempuan kristiani Cina. Dalam konteks perbudakan dan kolonial, tubuh perempuan membahasakan kelaparan, penganiayaan, perkosaan, maupun perlawanan, pertahanan hidup, dan penyembuhan. Para perempuan kristiani Cina membayangkan masa depan bukan sebuah saat puncak, masyarakat, atau bahkan persaudaraan putera-puteri Allah. Imajinasi mereka mengenai masa depan sangat konkrit karena lahir dari kebutuhan hidup dan kebijaksanaan hidup mereka.


Sumber Teologi

Teologi feminis poskolonial melihat ulang sumber-sumber teologi. Pengalaman perempuan merupakan sumber utama teologi feminis, namun pada saat sama merupakan sumber yang memicu perdebatan. Mereka menemukan fragmen pengalaman perempuan dan melakukan seleksi atasnya. Para teolog feminis mengangkat perdebatan akademik saat berbicara mengenai pengalaman bersama dan beragam perempuan. Mereka mencari titik solidaritas yang mempertemukan pluralitas pengalaman perempuan. Kwok Pui-lan melihat dua sisi dari keragaman suara feminis. Ia melihat ancaman perpecahan diantara feminis jika diskurs mereka mengarah pada kompetisi dan membatasi diri dengan isu yang diusungnya. Dalam situasi demikian, diskurs teologis merosot menjadi pertukaran, bahkan adu komoditas di pasar akademik. Pada sisi yang lain, keragaman suara teologis akan menampilkan saling kritik yang memperkaya pihak-pihak yang melibatkan diri dalam dialog. Diskusi mengenai pengalaman perempuan menjadi semakin kompleks karena teori posmodern dan postukturalis mempertanyakan gagasan subyek. Diskusi tersebut mengingatkan kita untuk melihat perempuan secara konkrit, dan berhati-hati terhadap kecenderungan menggunakan bahasa universal yang menempatkan kita sebagai suara yang mewakili semua perempuan.

Teolog feminis poskolonial juga menggugat gagasan manusia berakal pada Abad Pencerahan dilekatkan pada laki-laki. Sebaliknya akademisi menggambarkan perempuan sebagai mahluk emosional dan irasional. Teolog feminis poskolonial menolak gambaran romantik perempuan sebagai ciptaan yang lebih memperhatikan dan mengasihi ciptaan lain, dan memiliki relasi yang lebih dekat dengan Allah. Pandangan baru mengenai perempuan ini menyingkap fakta bahwa rezim kolonial terdiri baik laki-laki maupun wanita. Queer theory membantu teologi feminis poskolonial untuk mendestabilisasikan konstruksi gender dikotomik yang melihat perempuan sebagai ciptaan baik dan laki-laki sebaliknya. Ia juga mengajukan kritik atas kecenderungan feminis yang menabukan seksualitas di satu kutub ekstrem dan mengumbar erotisme pada kutub ekstrem yang lain.

Kwok Pui-lan mengundang kita untuk mendengarkan suara perempuan yang mengalami kolonisasi. Ia menyadari hal ini sebagai sesuatu yang baru. Ia menghargai pihak-pihak lain yang selama ini mewakili suara perempuan di kantung-kantung kolonial. Ia mendorong mereka untuk mengisahkan sendiri penderitaannya. Mereka mengisahkan pengalaman mereka dalam bentuk kisah, lagu, puisi, tarian dan sebagainya. Studi akademik dan budaya masih acapkali mengabaikan dokumentasi non-tulisan. Teologi feminis poskolonial memandang suara perempuan di kantung-kantung koloni sebagai penting dan pengalaman mereka berarti. Pui-lan mendorong teolog feminis poskolonial untuk merajut fragmen pengalaman perempuan yang terserak.

Kitab suci merupakan sumber penting bagi para teolog feminis kristiani. Mereka mengajukan kritik terhadap klaim tradisional kitab suci. Mereka mempertanyakan sakralitas teks kitab suci, batasan penyeleksian teks yang kemudian diterima sebagai kitab suci (canonization), dan bias androsentik teks dan sejarah penafsirannya. Mereka merekonstruksi sejarah perempuan kristiani perdana. Mereka menilai kehidupan perempuan sehari-hari dan kemimpinan agama perempuan di gereja dan tempat ibadat, dan marginalisasi perempuan dalam gereja yang memeluk patriarki (patriarchalization of the church). Mereka mendaku kembali kitab suci sebagai “roti, bukan batu” untuk perempuan. Teolog feminis poskolonial juga menilik penggunaan kitab suci dalam diskurs kolonial, pengaruh kolonialisme dalam studi kitab suci, dan pembacaan poskolonial terhadapnya.

Teolog feminis poskolonial menyadari kitab suci sebagian bagian integral dari diskurs kolonial. Masyarakat kristiani Barat menghormati kitab suci sebagai sabda pewahyuan Allah dan mendakunya sebagai harta berharga mereka. Rezim kolonial Barat menyalahgunakan kitab suci untuk menekankan superioritas peradaban mereka. Mereka memandang masyarakat Asia menyembah illah dan percaya kepada hal-hal gaib. Penguasa Barat menyalahgunakan kitab suci untuk membenarkan agresi politik-militer mereka. Para misionaris Barat memandang pengajaran dan penyebaran Injil sebagai misi peradaban Barat. Penerimaan terhadap iman kristiani berarti memutuskan ikatan dengan budaya setempat. Mereka mencuplik teks kitab suci untuk membenarkan misi peradaban Barat dan menampilkan superioritas agama kristiani. Mereka membaca teks pengutusan Yesus (Matius 28,19) dan kisah para rasul sebagai pembenar aktivitas penginjilan pada abad 18 – 19.

Perempuan kristiani Asia menerima perkenalan kitab suci sebagai berkat dan beban sekaligus. Untuk mengajar perempuan membaca ktiab suci, para penginjil kristiani membangun sekolah perempuan, kelas katekumen, dan kelas kitab suci. Para penginjil kristiani mendukung perempuan untuk hidup di ruang domestik. Mereka juga mengokohkan imperialisme budaya Barat yang memandang perempuan kristiani di tanah misi hidup dalam kegelapan dan menanti terang. Teolog feminis poskolonial membaca kitab suci dari perspektif perempuan yang mengalami beragam penderitaan karena ras, kelas, penahlukan, dan kolonialisme. Mereka melihat bahwa perempuan dalam kitab suci dipinggirkan keberadaannya, dicabut hak suaranya, dipandang sebagai anonim.

Tradisi juga merupakan sumber penting bagi teolog perempuan Katolik. Teolog perempuan Kristen menyadari bahwa tradisi kurang mempengaruhi mereka, namun memandang perlu untuk membicarakannya pula. Teologi feminis memandang perlu diskurs tentang tradisi karena tradisi mendefinisikan kenangan komunitas kristiani. Mereka mengungkapkan keprihatinannya karena gereja membungkam perempuan dari aktivitas membentuk kenangan kolektif. perempuan dibungkam suaranya untuk membentuk kenangan kolektif. Gereja menyingkirkan perempuan dari keikutsertaan dalam mendiskusikan kanonisasi kitab suci, kredo, dan doktrin. Teolog feminis poskolonial memandang perlu menggagas ulang tradisi dan meluaskan gagasannya. Dalam pandangan Kwok Pui-lan, perbincangan mengenai tradisi hendaknya melampui Eurosentrisme, menilik tradisi kristiani dari perspektif multibudaya, dan membuka diri terhadap perspektif feminis dan konteks global. Pui-lan menempatkan kembali Eropa dan sejarah kristiani dalam perspektif yang lebih memadai. Pemahaman internasional dan multi budaya dari tradisi kristiani akan membantu proses ini. Teologi feminis poskolonial menjajagi kemungkinan penggunaan mitos, legenda, dan sumber-sumber lisan serta tulisan dari tradisi setempat. Mereka mempertanyakan perlakuan terhadap tradisi Barat sebagai teks normatif. Dialog antara tradisi kristiani dan tradisi lokal sering macet di tengah jalan karena kecemasan akan bahaya sinkretisme dan nostalgia romantik dengan tradisi primitif.

Pui-Lan mengingatkan Gereja di Cina untuk mengembalikan peran komunitas liyan sebagai rekan dialog dalam rangka pencarian kebenaran. Selama ini Gereja cenderung memperlakukan mereka sebagai obyek pewartaan Injil. Komunitas liyan dapat membantu Gereja untuk memperkuat imajinasi teologisnya sehingga Gereja semakin menyentuh hati rakyat Asia. Pui-lan mempergunakan tradisi Asia dan biografi sosial warganya untuk melukis ulang kitab suci kristiani. Aktivitas ini mustahil berlangsung jika Gereja mengebawahkan tradisi-tradisi liyan dan biografi sosial mereka. Pada saat yang sama, ia menghindari nostalgia romantik dengan budaya Eropa maupun lokal. Dialog sejati Gereja dengan komunitas liyan pada satu sisi menjadi saat bagi komunitas liyan untuk membagikan kekayaan tradisinya kepada Gereja. Tradisi filsafat Cina kurang menitikberatkan pada pertanyaan metafisik dan epistemologis sebagaimana tradisi kristiani. Ia lebih memberikan tekanan pada visi moral dan etika dari masyarakat. Tradisi Neo-Confusian menekankan relasi integral antara pengetahuan dan praksis. Pada sisi yang lain perjumpaan dialogis ini menjadi saat bagi Gereja untuk membagikan tradisi kristiani yang memberikan inspirasi bagi pembebasan. Perjumpaan Gereja dengan komunitas liyan pada satu sisi hendaknya menjadi saat bagi Gereja untuk membagikan tradisi kristiani yang memberikan inspirasi untuk pembebasan. Dalam arti ini, Kwok Pui-lan memahami teologi feminis kristiani Asia sebagai diskursus antarbudaya. Kwok Pui-lan berpendapat bahwa teologi feminis kristiani merupakan diskursus antarbudaya.


Kritik atas Kritik

Teologi feminis poskolonial Asia berhutang secara akademik dari diskusi-diskusi feminisme, poskolonialisme, dan teologi yang berlangsung di lingkungan akademik Barat. Kwok Pui-lan banyak meminjam istilah-istilah akademik mereka dalam menilik perempuan kristiani Asia. Meskipun demikian Kwok Pui-lan menundang para teolog feminis kolonial Asia lain untuk melihat beberapa kelemahan mendasar dari teologi feminis poskolonial Barat. Ketidakadilan jender merupakan titik berangkat feminisme Barat. Feminis Barat berangkat dari pengalaman perempuan kulit putih yang mengalami penindasan. Mereka memandang patriarki sebagai akar persoalan sosial dan perempuan berkulit putih sebagai korban dari ideologi patriarki. Mereka menggugat konstruksi jender pada level budaya – simbolik. Teologi feminis Barat membangun ulang model pembicaraan tentang Allah yang menyertakan perempuan. Teologi feminis Barat memberikan perhatian ekstra pada bahasa inklusif dan jender Allah.

Kwok Pui-lan menyingkap keterbatasan untuk mendekati persoalan perempuan sekedar dari perspektif jender. Rasisme, klasisme, heteroseksisme, dan kolonialisme merupakan akar lain dari penindasan terhadap hidup perempuan. Feminis Barat seringkali gagal melihat identitas ganda perempuan Barat sebagai korban dan penindas terhadap saudarinya.Suara perempuan Asia dan belahan benua lain menyadarkan teolog feminis Barat akan keragaman budaya dan etnik. Kwok Pui-lan tak menampik perlunya perubahan bahasa karena bahasa membentuk kesadaran dan memiliki kuasa untuk menyatakan realitas. Pui-lan sama sekali tak hendak meremehkan perlunya kata ganti dan metafor laki-laki untuk Allah yang melukai perempuan. Teolog feminis Asia tidak menempatkan pencarian bahasa inklusif untuk Allah sebagai perhatian utama. Perhatian mereka lebih terarah pada isu keadilan jender, air bersih, makanan, dan sebagainya. Mereka harus memperjuangkannya pada level sosio-politik, bukan pada level budaya-simbolik. Konstruksi Allah sebagai Ibu, Dewi, dan simbol-simbol feminin lain gagal membawa perubahan sosial yang signifikan jika teolog feminis tetap berpegang pada peran terbatas perempuan sebagai pelahir dan pembesar anak.

Karya poskolonial Barat seringkali menyibukkan diri dengan teori dan kritik sastra. Teolog feminis poskolonial menulis surat balasan kepada teolog laki-laki yang menyusun teologi berdasarkan norma Eurosentrik, kelas menengah, dan kulit putih. Mereka membagikan optik poskolonial dan mempersilakan teolog laki-laki pro-perempuan untuk sumbang gagasan dalam peziarahan yang menarik ini. Teologi feminis mengkonsepkan kembali relasi teologi dan kekuasaan melalui lensa jender, ras, kelas, seksualitas, agama, dan sebagainya.

Kwok Pui-lan melihat tiga perkara penting yang hendaknya menjadi perhatian para teolog feminis poskolonial Asia. Pertama, mereka hendaknya peka terhadap simbol-simbol teologis dan kapital budaya dalam periode kolonial dan mutasinya dalam era kapitalisme akhir. Kedua, mereka hendaknya mengkonseptualisasikan kembali perbedaan agama yang telah membakar sedemikian banyak diskurs kolonial. Ia mendaku kembali Asia sebagai rahim yang melahirkan agama-agama besar. Ketiga, mereka hendaknya peka terhadap kerusakan ekologi. Mereka hendaknya membongkar mitos perkembangan dan revolusi hijau yang pada kenyataannya menghancurkan ciptaan alam dan perempuan. Allah menciptakan ekologi untuk semua ciptaan, bukan untuk dimonopoli segelintir ciptaan.



No comments: