Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Wednesday, October 29, 2008

Mea Culpa!

Mea Culpa!

Saya cemas tentang vagina,

pikiran kita tentangnya, dan terutama

yang tidak kita pikirkan tentangnya.

Eve Ensler[1]


Saya menyaksikan lukisan religius mengenai perempuan yang digelandang massa setelah ditangkap basah berbuat zinah dengan laki-laki bukan suaminya. Tangan perempuan itu berusaha membenahi pakaiannya yang masih berantakan. Ia berseru kepada massa, namun mereka mengabaikan suaranya. Pemandangan kontras terlihat pada rekan zinahnya. Laki-laki itu telah menutupi auratnya, bahkan dari kejauhan menyaksikan teman perempuannya yang diarak massa. Ia menyaksikan amarah massa yang hendak menghukum perempuan dengan rajaman batu. Pelukis menampilkan pelaku zina laki-laki pada sudut lukisan. Ia melukis karakter pelaku zina laki-laki yang absen dari teks kitab suci. Ia mencolok perhatian mereka yang melihat karyanya. Mengapa perempuan menjadi terdakwa tunggal dalam kejahatan perzinahan tersebut? Apakah perzinahan mungkin berlangsung dengan perempuan sebagai pelaku tunggalnya? Mengapa kesalahan, kejahatan, dan dosa dilekatkan pada tubuh perempuan?

Lukisan yang mengambil inspirasi dari teks Injil Yohanes 8, 1 – 11 menghantar pengakuan dosa saya (mea culpa) sebagai bagian massa yang terlibat dalam perajaman terhadap hidup perempuan pada masa kini. Buku ini memiliki arti pribadi karena lahir dari perjumpaan dengan ratapan perempuan tanpa nama seperti dalam teks injil. Ia juga lahir dari perjumpaan dengan Allah dalam diri Yesus sebagaimana dialami perempuan itu. Yesus menjadi harapan terakhir yang membela kasusnya di tengah hukum sipil dan agama yang memojokkan perempuan. Saya mengawali tulisan mengenai teologi perempuan Asia dengan mengungkapkan pengakuan atas kesalahan, bahkan kedosaan terhadap perempuan. Teolog pro-feminis kemudian menjadi tanda pengenal baru setelah mengalami perjumpaan yang mempertobatkan dengan penderitaan perempuan Asia sepanjang sejarah. Saya mendengarkan panggilan perempuan untuk terlibat dalam memajukan teologi feminis Asia. Judith Butler mengundang pribadi seperti saya untuk mengawali refleksi feminisme dengan kata perempuan. [2]

Saya kesulitan menemukan titik awal perhatian terhadap isu perempuan. Saat berpaling ke masa lalu, ingatan saya kembali pada cerita pendek Pengorbanan Iyem. Anjlognya harga cengkeh pada tahun 1992 membalut cerpen. Rentenir membelit kehidupan keluarga petani cengkeh dengan riba dan ayah keluarga meninggal mendadak karena tekanan ekonomi. Iyem, puteri tunggal keluarga, putus sekolah dan kemudian menjadi pelunas hutang keluarga. Iyem, identitas yang diberikan orang tua, menghilang dengan pemberian nama komersial Meike oleh indung semang di tempat hiburan malam. Iyem berjanji kepada ibunya untuk berhenti dari pekerjaan sebagai penghibur begitu hutang keluarga lunas.

Benih perhatian pada isu perempuan berlanjut dengan penulisan cerita pendek Sepotong Roti untuk Tuhan. Vita, anak perempuan dari keluarga berada, berjumpa dengan anak kecil dan ibunya yang sedang mengais sisa makanan di kubangan sampah.[3] Sepanjang hidupnya Vita belum pernah sekalipun berjumpa dengan dunia orang miskin. Ia terkejut menyaksikan seorang anak dan ibu yang sampai harus berpuasa makan karena kemiskinan mereka. Ia semakin terkejut menyaksikan mereka mengais makanan dari tempat pembuangan sampah. Vita kemudian menyerahkan sepotong roti yang menjadi bekalnya kepada mereka. Ia berjanji untuk berjumpa dengan mereka hari-hari berikutnya. Saat guru meminta para murid untuk mengisahkan pengalaman berharga dalam kehidupan mereka, Vita mengisahkan hatinya yang disapa oleh anak dan ibu itu. Ia tergerak oleh belas kasihan dengan keluarga miskin dalam perjalanan menuju sekolah. Sepotong rotinya menjadi santapan kehidupan-keselamatan bagi anak dan ibu yang menerimanya.

Perhatian pada isu perempuan berlanjut ketika saya berpindah tempat tinggal ke Ibukota Indonesia pada tahun 1995. Belum seminggu tinggal di Jakarta, saya menerima ajakan sudah mengunjungi pemukiman warga miskin yang mengalami ancaman penggusuran paksa. Warga gelisah menatap masa depan jika penggusuran paksa terlaksana. Mereka memutuskan untuk melakukan perlawanan. Warga perempuan berencana menghadapi aparat dengan tubuh telanjang demi mempertahankan kehidupan mereka. Pekerja kemanusiaan akan mendampingi warga bernegosiasi dengan aparat, dan memberikan perlindungan dari ancaman kekerasan aparat. Pada hari yang ditetapkan, saya menyingkir keluar lokasi demi alasan keselamatan jika terjadi bentrokan antara warga dan aparat. Penggusuran urung terlaksana karena warga berhasil bernegosiasi dengan aparat dan keduanya sepakat dengan solusi relokasi. menemukan relokasi sebagai jalan damai.

Aktivitas kemanusiaan diantara masyarakat miskin urban berlanjut dengan mengangkat kasus mereka di media massa untuk mempengaruhi opini publik. Saya mulai dengan mengajukan kritik atas kebijakan pemerintah kota menutup paksa lokalisasi pelacuran. Seperti penggusuran warga miskin, penutupan paksa lokalisasi pelacuran hanya memindah lokasi kemiskinan sementara jumlah orang miskin tetap, dan bahkan bertambah karenanya. Saya juga menulis tentang teater anak-anak miskin yang mengangkat cara sederhana rakyat miskin membela kesucian hidupnya. Kemiskinan menggerus kehidupan sampai anak-anak. Saya menulis cerita pendek mengenai anak yang menyaksikan ayahnya meregang nyawa seketika karena rumahnya digusur paksa dengan pembakaran. Cerpen itu berangkat dari kisah nyata warga yang meninggal seketika ketika terjadi penggusuran paksa. Saya juga menyadur kisah Tarini, anak perempuan dari perkampungan warga miskin, yang menerima penghargaan Child Award karena kegigihan hidupnya.

Selain tatap muka dengan rakyat miskin perempuan, pertobatan juga terjadi karena perjumpaan dengan gagasan feminis. Naomi Wolf menjadi bahan diskusi bahkan acuan intelektual feminis Indonesia. Bukunya The Beauty Myth membongkar citra kecantikan perempuan yang digunakan sebagai senjata politik untuk melawan kemajuan politik perempuan. Perempuan telah melepaskan diri dari ideologi yang mengurung perempuan di ruang domestik (feminine mystique of domesticity). Mereka juga telah membebaskan diri dari mitos keibuan, keperawanan, dan perilaku pasif. Ideologi kecantikan menjadi ideologi kewanitaan terakhir yang masih mempunyai kuasa untuk mengontrol perempuan. Wolf merasakan atmosfer umum (generalized atmosphere) mitos kecantikan sebagai serangan balik untuk menghipnotis perempuan sehingga mereka mengalami kelumpuhan politik.[4]

Naomi Wolf menyebut perubahan landskap kekuasaan itu sebagai gempa gender (gender quake) di Amerika dan goncangannya juga terasa di tempat-tempat lain. Singgasana kekuasaan yang semula berada dalam genggaman laki-laki mengalami keruntuhan dan perempuan bangkit di panggung kekuasaan.[5] Maskulinisasi dan feminisasi kekuasaan (masculinization and feminization of power) merupakan reaksi kepanikan psikis dari pemegang dan pendukung mitos laki-laki sebagai pemeran utama kekuasaan terhadap kebangkitan perempuan.[6] Laki-laki sebagai ciptaan yang setara dengan perempuan (egalitarian), laki-laki sebagai ciptaan yang lebih utama daripada perempuan (patriarchalist), dan percampuran keduanya merupakan beberapa kemungkinan tanggapan laki-laki terhadap kritik feminis.[7] Gempa jender mencelikkan kesadaran feminis bahwa perempuan tidak perlu memohon izin kepada siapa pun untuk melangsungkan revolusi kesetaraan jender.[8]

Naomi Wolf memperhatikan secara seksama tembok yang menyekat perempuan dari gerakan feminisme. Sebagian perempuan risih, bahkan menolak istilah feminisme secara terbuka. Sebagian merasa gerakan feminisme yang memiliki klaim memperjuangkan hak perempuan mengecualikan mereka. Kebohongan, distorsi, dan lelucon di media massa tentang feminisme menampilkan gambaran sesat mengenai feminisme. Pesan pembebasan terhalang setengahnya oleh citra negatif feminis sebagai pengumpat laki-laki, anti-seksual, anti-heteroseksual, lesbian, intelektual di belakang meja kampus, dan gerakan elitis perempuan kelas menengah kulit putih.[9] Pesan pembebasan terhalang setengahnya yang lain karena perempuan mengidap ketakutan, bahkan trauma untuk menggunakan kekuasaan demi perubahan dunia.[10]

Saya juga pernah menerima kursus keadilan jender dan mengunjungi beberapa lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan isu perempuan. Saya kemudian memahami alasan feminis untuk melakukan perubahan bahasa wanita dengan perempuan. Saya menanyakan kepada mereka mengenai minimnya keterlibatan laki-laki dalam gerakan feminis. Kesulitannya datang dari kedua belah pihak. Mereka masih trauma terhadap kehadiran laki-laki yang selama ini menggagahi kehidupan mereka. Sebagian berpikir bahwa laki-laki memiliki keterbatasan untuk terlibat dalam isu perempuan. Pada saat yang sama, mereka dengan rendah hati menyampaikan kritik diri mengenai citra negatif feminisme, bahkan di kalangan perempuan. Sebagian masyarakat memandang feminisme sepadang dengan umpatan ‘F.’ Reaksi sepi, apalagi negatif dari sebagian laki-laki menimbulkan keraguan feminis terhadap ketulusan laki-laki dalam memperjuangkan kepentingan mereka. Minimnya dukungan awal, bahkan penolakan ini menebalkan keyakinan sebagian feminis bahwa pejuang sejati untuk pembebasan perempuan adalah perempuan sendiri. Kita perlu, menyitir Julia Kristeva, melakukan de-dramatisasi terhadap pertarungan antarjenis kelamin.[11]

Tragedi kemanusiaan Mei 1998, terutama kekerasan seksual terhadap perempuan Indonesia etnis Cina, menyadarkan saya akan posisi lemah perempuan sebagai korba dihadapan hukum Indonesia. Saya menyadari keterbatasan saya sebagai laki-laki untuk mengunjungi korban karena trauma mereka terhadap sosok laki-laki yang telah mengangkangi kemanusiaan mereka. Saya kemudian mengenali psikologi korban pasca-perkosaan. Perkosaan melucuti kemanusiaan korban hampir seluruhnya, termasuk kemampuan untuk mengisahkan tragedi kepada orang lain. Kasus kekerasan seksual baru mendapat perhatian masyarakat setelah relawati kemanusiaan mengangat kasusnya ke forum internasional. Namun kasusnya segera menghilang karena ancaman terhadap kehidupan terhadap kesaksian korban hidup dan keluarganya. Kasusnya surut ketika publik, meminjam istilah Jane Gallop, memandangnya sebagai sensasional dan menempatkan korban sebagai obyek pertunjukan.[12] Korban berbicara dengan bahasa rahim yang bebas dari kejaran teror. Saya menderita kemiskinan bahasa untuk menyuarakan tuntutan mereka. Refleksi tentang isu ini baru muncul satu dasa warsa kemudian dengan tulisan Monolog Rahim.[13]

Keluarga, sekolah, ruang kerja, dan bahkan gereja dapat menjadi lokasi penderitaan perempuan. Penderitaan terhadap perempuan seringkali sudah mendarah daging dalam tubuh masyarakat sehingga kita gagal mengenalinya sebagai kekerasan terhadap perempuan. Sebagian perempuan juga menerimanya sebagai bagian dari menjadi seorang perempuan. Penderitaan perempuan kemudian menjadi peristiwa rutin tanpa gugatan. Ketika feminis mengangkat kasus-kasus perendahan kemanusiaan perempuan, masyarakat mencibir mereka sebagai pencari perkara yang kurang pekerjaan. Saya terperanjat dengan fakta bahwa laki-laki bukan pemeluk tunggal ideologi patriarki. Sebagian perempuan juga menjadi penganutnya dan terlibat dalam dehumanisasi terhadap sesame saudarinya. Gerakan perempuan menyandang tugas ganda, yaitu humanisasi terhadap perempuan yang mengalami penderitaan, dan humanisasi terhadap laki-laki dan perempuan yang terlibat dalam dehumanisasi perempuan.

Saat menginjak bangku teologi di fakultas teologi universitas Sanata Dharma, saya giat menggeluti pemikiran teologi perempuan dari Ivonne Gebara, Ada Maria Isasi Diaz, Elizabeth Schussler Fiorenza, dan Sallie McFague. Meskipun fakultas teologi menyediakan mata kuliah pilihan feminisme dengan dosen pengampu teolog perempuan, saya justru memilih untuk studi mandiri tentang teologi feminis. Saya mengidap prasangka bahwa teologi feminisme hanya penghalusan dari teologi matriarki. Studi mandiri memberikan kontrol terhadap bacaan-bacaan teologi feminis yang berpotensi merongrong gereja dan teologi Katolik. Saya mempelajari teologi perempuan untuk membangun tembok pertahanan terhadap serangan teolog feminis. Pengetahuan saya mengenai teologi perempuan mengalami kemajuan, namun keterlibatan untuk pemerdekaan perempuan justru mengalami kemunduran. Menyitir Trinh T. Minh-Ha, perilaku tersebut menyingkapkan keengganan dan bahkan penolakan secara halus untuk melibatkan diri dalam isu perempuan.[14] Perjumpaan dengan gagasan dan aktivis perempuan mendorong saya untuk menyentuh isu-isu yang sering diabaikan dan ditabukan masyarakat dan Gereja, seperti penderitaan perempuan di zona konflik, perempua di ruang politik dan ekonomi, dan skandal seksual pemimpin agama.

Ursula King mengajukan pertanyaan yang sungguh menohok ulu hati saya yang enggan mendengarkan, bahkan menolak suara kaum feminis secara halus.


Mengapa maksud feminis seringkali disalahmengerti, disalahwakili atau sekedar diabaikan? Apakah suara feminis terlalu lirih? Apakah suara kami sedemikian mengundang silang pendapat atau membingungkan? Ataukah kalian sebagai pendengarnya kehilangan kesabaran untuk mencecapi pesan kami?[15]


Ursula King menyadari nada kemarahan dari suara feminis. King mengundang saya untuk memahami kemarahan sebagai paras lain dari kasih. Ia juga menyadari bahwa suara mereka berserakan abjadnya dan membutuhkan perbaikan berkelanjutan.[16]

Kesulitan (ter)besar dalam merengkuh feminisme adalah kritik para feminis bahwa gereja dengan para teolognya terlibat dalam penahlukan perempuan. Saya kesulitan melihat keberadaan Gereja dan teologi patriarkis. Teolog feminis menyingkap fakta bahwa sebagian bahasa, symbol, dan ritual Gereja mendukung ketimpangan jender. Saya gagal melihat fakta penafsiran kitab suci yang memojokkan, apalagi meniadakan peran perempuan. Pada periode ini saya lebih tertarik mempelajari teologi pembebasan perempuan Amerika Latin. Saya lebih mendengarkan perjuangan tokoh perempuan seperti Rigoberta Menchu, kritiknya atas ‘Gereja kaisar’, dan penafsirannya atas kitab suci demi pembebasan rakyat Guatemala.

Saya terhenyak dengan keberagaman istilah yang dipakai teolog perempuan untuk menamai aktivitas teologisnya. Penamaan teologi perempuan masih berlanjut. Teolog mujerista Ada Maria Isasi Diaz melihat nama sebagai tanda eksistensi dan resistensi terhadap anonimitas. Isasi Diaz berangkat dari kisahnya sebagai perempuan dan perempuan-perempuan Latina lainnya yang berjuang demi kehidupan dan pembebasan mereka. Pembacaan dan penafsiran kitab suci hendaknya membantu perempuan untuk mengenali dunia mereka. Ia mengundang saya untuk berpaling kepada perempuan-perempuan dalam kitab suci dan menemukan makna tersembunyi yang telah dikaburkan oleh dunia patriarkal dengan cara penulisan, penafsiran, dan penghidupannya. Ia mendaku kembali kebaikan perempuan dan tubuhnya. Karena dapat melukiskan Tuhan dalam tubuh mereka, mereka juga dapat melukiskan Tuhan dengan metafor perempuan.[17]

Studi lanjut teologi di Amerika Serikat merupakan salah satu periode menentukan dalam pemahaman saya mengenai feminisme dan teologi perempuan. Bell Hooks memahami feminisme sebagai gerakan untuk mengakhiri seksisme, eksploitasi seksis, dan penindasan. Hooks menyadarkan kita bahwa laki-laki bukan penyembah tunggal berhala seksisme. Perempuan, bahkan yang menempelkan label feminis, dapat menjadi pemuja berhala seksisme. Feminis kontemporer merupakan gerakan untuk keadilan jender. Ia juga menyingkapkan fakta bahwa gerakan feminisme tak sekedar memiliki keragaman, tetapi juga mengalami keterpecahan.[18] Sistem patriarki bertahan hidup karena berhasil melanggengkan kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Kebungkaman perempuan terhadap kekerasan yang dialaminya mengabadikan sistem patriarki. kejahatan patriarki membantu untuk mengabadikan patriarki. Gerakan feminisme melawan kepercayaan seksis konvensional bahwa hasrat laki-laki untuk menguasai perempuan itu normal, bahkan menjadi norma masyarakat. Penguasaan laki-laki terhadap perempuan sejatinya menyengsarakan kedua belah pihak. Keduanya terkunci dalam ikatan relasi negatif. Gerakan feminis hendaknya semakin melepaskan diri dari citra negatif yang dilekatkan padanya sebagai penyelenggara perang gender. Ia harus semakin menampilkan citra positifnya sebagai sebuah solusi untuk relasi baru antara laki-laki dan perempuan yang dilukai patriarki.[19]

Saya merasa duduk di pinggir laut memandang samudera pemikiran teologi dari beragam belahan dunia. Rosemary Radford Ruether membantu saya untuk melihat akar dan perkembangan teologi feminis dalam agama kristiani. Teologi feminis bukan sekedar teologi yang dikerjakan perempuan, karena sebagian teolog feminis telah mengerjakan teologi yang mengamini paradigma jender patriarkal. Ia juga juga bukan sekedar teologi yang mengusung tema perempuan. Imbuhan tema-tema perempuan dalam teologi yang dikuasai oleh paradigma jender patriarkal justru seringkali memberkuat paradigma yang ada. Ruether memandang gerakan feminisme sebagai dekonstruksi-rekonstruksi terhadap paradigma jender patrialkal. Teolog feminis menggugat desain teologi yang membenarkan perendahan perempuan, seperti pengenaan bahasa laki-laki untuk Allah, identifikasi laki-laki dengan Allah, laki-laki sebagai wakil Allah dalam gereja dan masyarakat, laki-laki sebagai ciptaan Allah yang lebih istimewa. Teolog perempuan peka terhadap agensi-kekuasaan yang mengkonstruksi simbol-simbol sosial, budaya, dan teologi. Ruether menegaskan bahwa teologi feminis, yang kuncupnya muncul pada akhir tahun 1960-an dan yang benihnya sudah mulai hadir dalam era-era sebelumnya, tidak lahir dari ex nihilo.[20] Ruether pernah mengajukan pertanyaan gugatan kepada Gereja, “Dapatkah Yesus sebagai Penyelamat laki-laki menebus perempuan?”[21]

Saya sejujurnya sangat malu karena karena baru mengenal Marianne Katoppo, teolog perempuan Indonesia, justru ketika tinggal di luar Indonesia. Marianne Katoppo segera menarik perhatian saya karena ia melukis ulang teologi, identitas teolog, bahasa teologi, dan cakupan perhatian dan keprihatinan teologi. Ia memberikan inspirasi kepada saya untuk memandang teologi secara baru sebagai syair mengenai, bahkan syair kepada Allah. Saya mendaku (kembali) identitas teolog sebagai penyair Allah. Teologi perempuan menjauhkan diri dari godaan melucuti kemanusiaan laki-laki, melainkan mengenakan kembali kemanusiaan mereka. Karya-karya teologis dan sastra Katoppo mendorong saya untuk menciptakan bahasa teologi yang lebih menyapa Allah dan manusia. Jika kita hendak menyusun mazmur kepada Allah, teolog harus semakin berpaling kepada ratapan manusia yang didera penderitaan.

Ivone Gebara, teolog perempuan dari Brazil, meletakkan pondasi lanjutan dalam memahami teologi perempuan. Teologi perempuan tidak berangkat dari teori tentang Tuhan. Ia berawal dari ratapan perempuan sebagaimana dirintihkan Yesus di atas kayu salib “Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan daku?”[22] Gebara membongkar teologi patriarkis yang bersarang dalam tubuh Gereja Katolik. Teologi patriarkis membatasi diri untuk melihat Tuhan dari lensa pengalaman laki-laki. Ia menyensor pengalaman perempuan akan Tuhan. Teologi perempuan memberikan perhatian pada pengalaman perempuan akan Tuhan sebagai Pribadi yang mendukung kehidupan mereka, bersemayam dalam kehidupan, dan bersemayam dalam kehidupan mereka. Para teolog perempuan menulis teologi dari kehidupan manusia dan mengenai kehidupan manusia. Aspek perempuan dari teologi mereka terletak dalam dekonstruksi terhadap Tuhan patriarkis demi semakin terciptanya persaudaraan putera-puteri Allah (kin-dom of God).[23]

Gebara mendorong para saudara laki-laki untuk mendengarkan para saudari mereka yang mengisahkan penderitaan mereka. Pada saat yang sama ia melihat celah terbuka bagi sebagian saudara laki-laki untuk mengisahkan penderitaan perempuan. Laki-laki pun dapat menjadi saksi kehidupan bagi penderitaan perempuan. Identitas sebagai saksi kehidupan perempuan tumbuh saat laki-laki memasukkan diri mereka ke dalam geografi penderitaan perempuan dan melihat keragaman kejahatan yang menggagahi kemanusiaan perempuan. Hati dan budi laki-laki ikut terkoyak bersama dengan hati perempuan yang dirajam penderitaan baik yang berlangsung pada masa lalu maupun pada masa kini. Laki-laki memiliki kemampuan untuk menyeberangi garis pembatas perbedaan biologis dan kultural yang biasanya menghalangi mereka untuk mendengarkan kisah perempuan.[24]

Di tengah laju kemajuan teologi di Amerika, teologi Asia masih mencari ruang untuk bernafas hidup. Ruang-ruang kuliah teologi Asia belum banyak menarik minat mahasiswa-mahasiswi non-Asia. Hal yang relatif sama terjadi dengan hasrat untuk mendalami gagasan para teolog Asia. Saya menangkap harapan bersama diantara para teolog Asia untuk menempatkan Asia sebagai salah satu kiblat teologi. Sampai saat ini Asia merupakan kiblat teologi yang masih terabaikan, bahkan tanpa sadar oleh para teolog Asia sendiri. Ruang-ruang kelas teologi Asia merupakan undangan istimewa kepada mahasiswa-mahasiswi Asia untuk mencintai teologi Asia. Kwok Pui-Lan melihat berteologi perempuan Asia dari pinggiran bukan sebagai kelemahan, tetapi justru sebagai kekuatan. Proyek buku ini merupakan buah kecintaan saya terhadap teologi Asia.

Perhatian terhadap teologi perempuan Asia menyusul setelah saya lebih mengenal peta feminisme dan teologi Asia. Teolog perempuan Asia seringkali terkubur keberadaannya dalam lingkar akademik Asia. Nama-nama mereka baru mengemuka ketika saya membuka diri terhadap keberadaan (isu) perempuan dalam teologi Asia. Saya menyadari betapa perempuan seringkali anonim, dan isu mereka seringkali tersingkirkan dari perhatian teologi Asia. Saya merasakan kebutuhan untuk mendengarkan pengalaman perempuan Asia akan Tuhan. Saya terhenyak dengan fakta penderitaan yang dialami perempuan Asia. Teologi perempuan Asia memulai refleksi dari pengalaman perempuan dan bermuara pada kemanusiaan bersama sebagai putera-puteri Tuhan.

Keterlibatan dengan isu perempuan dan minat untuk menekuni teologi perempuan Asia memunculkan pertanyaan dasar dalam diri saya. Siapa saya? Apakah saya boleh menyebut diri teolog feminis? Saya mencari tanda pengenal saat berjumpa dengan para feminis. Para feminis juga bergumul dengan pertanyaan serupa untuk menyapa saudara-saudara yang peduli dengan isu perempuan. Pergumulan itu belum usai hingga sekarang. Sebagian feminis berpendapat istilah feminis melekat dengan jender perempuan. Laki-laki miskin pengalaman yang dilalui perempuan dan karenanya tidak dapat berbicara mengenai perkara perempuan secara berwibawa. Sebagian berpendapat bahwa feminisme lebih merupakan pendirian politik dan laki-laki dapat memberikan sumbangan untuk melawan penindasan terhadap perempuan dan menegakkan hak-hak mereka. Kwok Pui-lan misalnya menekankan tanggung jawab perempuan untuk mengembangkan feminisme dan teologi feminisme. Ia memperlakukan laki-laki pro-feminis lebih sebagai sekutu dalam gerakan dan perjuangan perempuan.[25]

Bell Hooks membuka ruang bagi keterlibatan laki-laki pro-feminis. Ia menyingkap fakta masih lemahnya solidaritas laki-laki terhadap perjuangan revolusioner perempuan untuk memerdekakan kemanusiaan. Banyak laki-laki belum bergeming dengan pemikiran dan aktivitas kaum feminis. Kebanyakan teori feminis masih menderita kegagalan untuk merevisi dan menggagas kembali maskulinitas secara kreatif.[26] Saya menggunakan istilah teolog pro-feminis untuk menyebut saudara laki-laki yang menyertai gerakan dan perjuangan perempuan. Penerimaan perempuan terhadap kehadiran laki-laki pro-feminis mencerminkan keterbukaan perempuan terhadap kehadiran jender lain dalam perjuangan untuk kemanusiaan bersama. Teolog pro-feminis Asia menjadi tanda pengenal sementara saya sambil mencari istilah lain yang barangkali lebih tepat untuknya.



[1] Eve Ensler, The Vagina Monologue, Foreword by Gloria Steinem (New York: Villard, 1998), 3.

[2] Judith Butler, ‘Gender Trouble, Feminist Theory, and Psychoanalytic Discourse’ dalam Feminism/ Postomodernism, Edited and with an Introduction by Linda J. Nicholson (New York: Routledge, 1990), 324.

[3] Vita dalam bahasa Latin berarti kehidupan.

[4] Naomi Wolf, The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women, With a New Preface (New York: Doubleday, 1991), 7. 9 – 11.

[5] Naomi Wolf, Fire with Fire: The New Female Power and How It will change the 21st Century (New York: Random House, 1993), 10. 31.

[6] Naomi Wolf, Fire with Fire, 15. 35.

[7] Naomi Wolf, 17 – 24.

[8] Naomi Wolf, 52.

[9] Naomi Wolf, 57 – 132.

[10] Naomi Wolf, 235. 261.

[11] Julia Kristeva, ‘Women’s Time’ dalam Feminisms: An Anthology of Literary Theory and Criticism, Revised Edition, Edited by Robyn R. Warhol and Diane Price Herndl (New Brunswich, NJ: Rutgers University Press, 1997), 875.

[12] Jane Gallop, Feminist Accused of Sexual Harassment (Durham, NC: Duke University Press, 1997), 6.

[13] Bagi pembaca yang berminat untuk membaca tulisan Monolog Rahim, silakan lihat dalam buku Kesucian Politik: Agama dan Politik di tengah Krisis Kemanusiaan (Jakarta: Libri, 2008).

[14] Trinh T. Minh-Ha, ‘Writing Postcoloniality and Feminism’ dalam Bill Aschcroft, Gareth Griffiths, and Hellen Tiffin (Eds.), The Postcolonial Studies Reader (New York: Routledge, 1995), 265.

[15] Ursula King, Women and Spirituality: Voices of Protest and Promise, 2nd Edition (Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press, 1993), 9.

[16] Ursula King, Women and Spirituality, 13 – 14.

[17] Ada Maria Isasi Diaz, Women of God, Women of the People: Four Biblical Mediations (St. Louis, Missouri: Chalice Press, 1995); Ada Maria Isasi Diaz, Mujerista Theology: A Theology for Twenty First Century (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1996).

[18] Bell Hooks, ‘Feminist Politics Where We Stand’ dalam Susan M. Shaw dan Janet Lee. Eds., Women’s Voices, Feminist Visions (Oregon: Oregon University Press, 2004), 46 – 48.

[19] Bell Hooks, ‘The Search for Men Who Love’, dalam Susan M. Shaw dan Janet Lee. Eds., Women’s Voices, Feminist Visions, 175 – 180.

[20] Rosemary Radford Ruether, ‘The Emergence of Christian Feminist Theology’ dalam Susan Frank Parsons. Ed., The Cambridge Companion of Feminist Theology (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), 3 – 4.

[21] Rosemary Radford Ruether, To Change the World: Christology and Cultural Criticism (New York: Crossroad, 1981), 45 – 46; Rosemary Radford Ruether, Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology (Boston: Beacon Press, 1983), 116 – 138.

[22] Markus 15, 34.

[23] Ivone Gebara, Out of Depths: Women’s Experience of Evil and Salvation, Translated by Ann Patrick Ware (Minneapolis: Fortress Press, 2002), 145 – 174.

[24] Ivone Gebara, Out of Depths, 15 – 16.

[25] Kwok Pui-lan, Postcolonial Imagination and Feminist Theology (Louisville, KY: John Knox, 2005), 127.

[26] Bell Hooks, ‘Men in Feminist Struggle – The Necessary Movement’ in Women Respond to the Men’s Movement, Edited by Kay Leigh Hogan, Foreword by Gloria Steinem (San Francisco: HarperSanFrancisco, 1992), 117.

No comments: