Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Thursday, October 2, 2008

Seks, Pelacuran, Gereja

Elizabeth Dominguez

Seks, Pelacuran, dan Gereja

Oleh Mutiara Andalas, S.J.

Viktimisasi terhadap perempuan

disucikan dengan kutipan teks kitab suci.

Elizabeth Dominguez


Saat berziarah rohani ke Guadalupe, bus melewati sebuah gereja katolik kuno di sudut jalan yang ramai.

Mengetahui saya berkali-kali mengarahkan kamera ke arah bangunan gereja, pemandu ziarah berbicara dengan nada setengah berbisik,

“Warga setempat lebih sering menyebutnya sebagai Gereja pelacur.”

“Ada kisah dibalik penamaan tersebut?”

“Pelacur katolik sering beribadat ke gereja itu. Mereka kemudian menjajakan diri di pelataran gereja setelah ibadat.”

“Indonesia punya kisah istimewa sekitar pelacur dan tempat ibadat.”

“Apa itu?”

“Penutupan paksa lokalisasi pelacuran hampir selalu diikuti pembangunan pusat keagamaan di atas tanah yang sama.”

“Kemana para pelacur itu pergi?”

“Saya kurang tahu pasti. Saya hampir tahu pasti bahwa mereka tak akan pergi ke rumah ibadat yang menggusur kehidupan mereka.”

“Bagaimana mereka harus mencari nafkah kehidupan setelah penutupan lokalisasi?”

“Pertanyaan itu sayangnya jarang mampir di benak pemrotes.”

Kita seringkali menyaksikan aksi protes komunitas agama terhadap perendahan seksualitas manusia. Di beberapa tempat mereka bahkan menutup paksa lokalisasi pelacuran dengan kitab suci sebagai teks pembenarnya. Namun kita juga menyaksikan sikap masyarakat, bahkan negara yang setengah hati terhadap terhadap pelacuran terselubung atau terbuka meskipun mereka memandangnya sebagai profesi ilegal. Elizabeth Dominguez, teolog biblis feminis, mengajukan penafsiran baru terhadap teks-teks kitab suci yang seringkali disalahgunakan untuk menindas perempuan. Ia mengembalikan laki-laki dan perempuan dalam relasi inklusif. Dominguez menggali pandangan kitab suci mengenai seksualitas manusia dan pekerja seks komersial. Pelacuran merupakan komersialisasi tubuh yang tercipta karena ketimpangan relasi manusia. Pada akhir tulisan, ia mengajukan beberapa langkah konkrit yang hendaknya dilakukan masyarakat, termasuk Gereja, berkaitan dengan isu pelacuran. Elizabeth Dominguez agak mengandaikan pembaca akrab dengan hermeneutika feminis dan problem prostitusi di Filipina. Untuk kepentingan tulisan ini, pembicaraan mengenai hermeneutika feminis dan prostitusi di Filipina mengawali tulisan ini.


Hermeneutika Feminis

Sandra M. Schneiders menelusuri jejak historis hermeneutika feminis. Elizabeth Cady Stanton dan ahl biblis lainnya pada abad 19 mulai dengan kritik kitab suci feminis. Para ahli kitab suci membangkitkan kembali pendekatan feminis pada periode 1970-an. Mereka menyadari fungsi kitab suci dalam masyarakat Barat sekurang-kurangnya sebagai sumber utama dan pembenar terhadap penindasan perempuan di lingkungan kelaurga, masyarakat, maupun Gereja. Bahkan, masyarakat biasa tidak perlu menjadi kristiani untuk terjangkit etos kristiani yang androsentrik, patriarkal, dan seksis. Meskipun Gereja bukan pencipta ideologi-ideologi tersebut, kitab suci faktanya terus-menerus di(salah)gunakan oleh beragam rezim sebagai pembenar religius terhadap tindakan mereka menindas perempuan. Kalau mendalami kitab suci (Kristiani), kita akan menemukan bahwa persoalannya seringkali tidak terletak pada kesalahan terjemahan atau tafsiran, melainkan terletak integral pada teks. Teks kitab suci mengandung bias ideologis terhadap perempuan.

Elizabeth Schüssler Fiorenza dan feminis biblis lain menempatkan penafsiran biblis feminis dalam kategori hermeneutika pembebasan. Mereka mengamati bahwa teks kitab suci seringkali buta terhadap penindasan perempuan dalam komunitas Israel dan Gereja Perdana. Mereka melihat bias androsentrik, patriarkal, seksis, bahkan misoginis dalam teks kitab suci. Akibatnya, teks kitab suci seringkali gagal menawarkan dirinya sebagai sumber pembebasan kepada pembacanya. Karena melihat kitab suci bukan teks yang murni dan semata-mata pembebasan bagi perempuan melainkan bagian dari persoalan, para feminis mengajukan hermeneutika biblis feminis liberatif. Mereka tidak hanya membebaskan rakyat tertindas melalui transformasi sosial, tetapi juga membebaskan kitab suci dari keterlibatannya dalam penindasan perempuan dan Gereja. Sandra Schneiders menggarisbawahi pendapatnya bahwa kecurigaan feminis akan bias anti-perempuan dalam kitab suci dan penafsirannya bukan paranoia, melainkan realisme akademik.

Feminis biblis mengandaikan bahwa pemenang sejarah tidak pernah menulis kisah sesungguhnya tetapi hanya bersungguh-sungguh menulis kisah mereka dalam kitab suci. Pemenang sejarah meminggirkan, bahkan menyingkirkan perempuan seluruhnya dari kitab suci. Kalaupun mencantumkan perempuan, mereka seringkali menciutkan perempuan secara pornografis pada seksualitasnya. Mereka juga menampilkan perempuans ebagai figur anonim atau figur jahat. Feminis biblis tidak mengandaikan bahwa kitab suci menampilkan perempuan secara memadai dalam komunitas keselamatan. Mereka berangkat dari pengandaian bahwa teks kitab suci dihadapannya telah mengalami penyuntingan Para feminis biblis berangkat dari pengandaian bahwa teks dihadapannya telah mengalami penyuntingan dan berakibat mengurangi kredibilitas pesan teks.

Feminis biblis mensinyalir kecenderungan senada untuk membaca dari perspektif pemenang sejarah diantara penafsir kitab suci. Mereka seringkali gagal menyadari bahwa mereka menafsirkan teks dari perspektif rezim penindasan. Meskipun menaruh kesangsian terhadap teks kitab suci, Sandra M. Schneiders sama sekali jauh dari maksud menghasut kita untuk mencurigai teks kitab suci secara absolut. Schneiders melihat fakta bahwa sebagian feminis menolak kitab suci karena menganggap mengusung pesan anti-perempuan dan anti-keselamatan. Schneiders mengundang kita untuk tetap memiliki harapan pada kitab suci sebagai teks yang berpotensi liberatif. Feminis biblis sejati peka terhadap terjemahan, berfokus pada teks dengan potensi pembebasan, mengangkat perempuan sehingga tampil, dan menyingkap rahasia teks yang terpendam, dan menyelamatkan teks dari kesalahan interpretasi.

Sandra M. Schneiders mengajukan dunia di belakang teks (the world behind text), dunia teks (the world of the text), dan dunia dihadapan teks (the world before the text) sebagai tiga model utama perjumpaan teks dengan pembaca. Dunia di belakang teks membicarakan faktor-faktor yang memunculkan teks dan relasi faktor-faktor itu dengan teks. Pertanyaan sejarah mendominasi dalam proses ini. Dunia teks (the world of the text). Mereka memandang teks kitab suci sebagai saksi dan pendekatan ini menguji ketepatan bahasa dan teks sebagai saksi. Dunia dihadapan teks (the world before the text) berbicara tentang perkataan teks dan makna teks bagi komunitas beriman. Kita hendaknya menghindari perangkap ganda penguasaan teks oleh pembaca dan sebaliknya. Pembaca akhirnya menyadari kitab suci sebagai teks yang menyingkapkan perjumpaan Allah dengan manusia(revelatory text).


Seksualitas sebagai Komoditas

Pembacaan dan tafsiran Elizabeth Dominguez mengenai para pelacur dalam kitab suci akan lebih terbaca kalau kita menempatkannya dalam pergumulan negara Filipina berhadapan dengan isu pelacuran. Mary John Mananzan menempatkan pelacuran dalam kaitan dengan pariwisata, pangkalan militer asing, dan industri asing. Sejak tahun 1960-an sektor pariwisata menduduki peringkat kelima sebagai penyumbang devisa nasional. Pariwisata membiakkan gadis pemandu (hospitality girl), pelayan klub, pekerja sauna, dan pelacur. Paket pariwisata seringkali menyertakan jasa seks dalam menu. Negara yang memandang pariwisata sebagai salah satu pilar dari pekembangan ekonomi harus membayar mahal dengan mengorbankan martabat manusia, terutama eksploitasi perempuan.

Terangsang mendapatkan devisa nasional secara mudah, pemerintah Filipina dibawah Manuel A. Roxas menyewakan Angeles dan Olongapo di Luzon sebagai pangkalan militer Amerika Serikat. Pada awalnya pemerintah Amerika Serikat pada awalnya memandang Filipina sebagai saudara muda berkulit sawo matang dan pada akhirnya, menyitir novelis Barbara Wilson, memperlakukannya sebagai pelacur perempuan. Selain harga politik, Filipina harus membayar pula harga sosial dari kehadiran pangkalan militer, yaitu merebaknya germo, pelacur, pecandu obat-obatan terlarang, dan penjahat. Pelacur kadang-kadang juga semakin merendahkan dirinya dengan mencuri atau merampok pengguna tubuhnya. Setiap tahun diperkirakan 30.000 bayi lahir dari hubungan perempuan Filipina dan laki-laki Amerika Serikat.

Setelah pemerintah Filipina menghentikan perpanjangan sewa pangkalan militer, pemerintah setempat berusaha mengalih fungsikan para pekerja seks dari ancaman menjadi pengangguran baru sebagai komoditas pariwisata. Pada saat yang hampir bersamaan, sindikat Yakuza gencar merekrut dan menyelundupkan mereka ke Jepang. Terdesak kondisi ekonomi dan tergiur janji perbaikan ekonomi, perempuan Filipina dengan rentang usia di atas 20 tahun dan rentang pendidikan setelah kolese menyeberang ke Jepang. Mereka menghasilkan lebih banyak uang dengan menjadi Japayuki di Jepang daripada berprofesi guru atau perawat di negaranyaSerbuan industri asing menyebabkan polusi ekologi dan sosial. Perempuan Filipina mengalami eksploitasi sebagai babu, pencuci baju, pemasak dan istri simpanan pekerja asing. Eksploitasi terhadap tubuh perempuan juga berlangsung karena kontrol negara. Kekerasan negara terhadap tubuh perempuan acapkali menyerang fisik sekaligus seksualitasnya.

Kampanye ‘Mawar Ungu’ yang melawan penyelundupan perempuan dan anak-anak Filipina memberikan lukisan buram mengenai situasi kontemporer mereka. Pada tahun 2005, sekitar 750.000 perempuan Filipina menjadi komoditas ekspor ke 203 negara dan kurang lebih 30% berakhir dalam industri pariwisata seks. Sekitar 150.000 perempuan Filipina bekerja di lokalisasi pelacuran, tari telanjang, bar, dan klub malam yang di Jepang di bawah kendali Yakuza. Sekitar 60% dari perempuan Filipina yang bekerja di luar negeri berprofesi dalam ruang domestik, seperti pembersih rumah, pemasak, dan pengasuh anak. Lebih dari 500.000 perempuan dan anak-anak Filipina bekerja sebagai pelayan seks bagi turis asing dan lokal. Berada di tengah-tengah situasi perempuan demikian, Mananzan menegaskan secara lantang keharusan menyertakan perempuan dalam diskusi pembebasan.


Kebersamaan Inklusif

Elizabeth Dominguez menilik gagasan dasar teks Kejadian 1, 26 – 27 mengenai seksualitas manusia. Allah yang menciptakan manusia seturut citra-Nya. Ia memberikan wewenang kepada mereka untuk mengelola ciptaan-ciptaan lain.


Berfirmanlah Allah:

“Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya merkea berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.”


Elizabeth Dominguez menggugat pandangan perempuan sebagai ciptaan kedua dan pelayan laki-laki. Sebagian pemeluk pandangan ini mengutip teks 1 Korintus 11, 8 – 9 sebagai dasar biblisnya.


“Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki.

Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan diciptakan karena laki-laki.”


Dominguez mendorong kita untuk membaca teks 1 Kor 11 secara lengkap. Paulus berbicara tentang pakaian yang layak dikenakan dalam ibadat dan ia lebih banyak berbicara tentang perempuan. Teks tidak mendukung posisi ekslusif laki-laki terhadap perempuan, melainkan justru mendukung relasi inklusif antara laki-laki dan perempuan. Pandangan laki-laki sebagai ciptaan pertama dan tuan atas perempuan menghancurkan inklusivitas. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk membangun komunitas. Ia menciptakan mereka untuk bersama-sama mengekspresikan citra Allah. Ia menolak individualisme laki-laki dan perempuan yang hendak sendirian merefleksikan kemuliaan-Nya. Ia menghendaki laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama sebagai komunitas. Kita mendistorsikan seksualitas manusia saat masing-masing ciptaan mendaku individualisme dan menolak persekutuan antarciptaan.

Kejadian 2 merupakah kisah kedua mengenai penciptaan. Pengarang teks menggambarkan Adam berjenis kelamin laki-laki. Kata Adam diambil dari kata Ibrani dama yang berarti tanah atau dasar, sedangkan Hawa berarti ibu kehidupan. Dominguez mempertanyakan simpulan sembrono sebagian dari pembaca mengenai inferioritas perempuan terhadap laki-laki dalam tatanan ciptaan. Sebagian pembaca mengira laki-laki berposisi lebih tinggi daripada perempuan karena dalam teks Kejadian 2, 7 Allah menciptakan laki-laki pertama kali dari debu tanah dan menciptakan perempuan kemudian dari tulang rusuk laki-laki.


“Ketika itulah Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dlaam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi mahkluk yang hidup.”


Kalau kita menggunakan ukuran hirarkis untuk menilai bahan yang digunakan Allah untuk menciptakan manusia, rusuk lebih tinggi nilainya daripada tanah.

Laki-laki sebagai ciptaan pertama mengalami kesendirian. Allah telah menciptakan binatang sebagai kawan untuknya, namun manusia laki-laki tetap mengalami kesendirian. Ia hanya dapat mengatasi kesendirian dengan kehadiran rekan setara. Allah menciptakan perempuan dalam relasi setara dengan laki-laki. Ia tidak menciptakan perempuan dalam relasi timpang dengan laki-laki. Sebagian pembaca seringkali terpaku pada kata ‘penolong’ yang dikenakan pada perempuan, namun melupakan kata sifat ‘sepadan’ yang mengikutinya. Teks Kejadian 2, 24 menuliskan


“Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”


Allah memberikan seks(ualitas) sebagai persekutuan terdalam, yang hanya berlangsung diantara dua pribadi setara.

Kita dapat melihat teks-teks lain untuk melihat keindahan seksualitas manusia dan pelanggarannya. Kitab Kidung Agung berisi puisi erotik yang merayakan seksualitas manusia sebagai pemberian Allah. Kecenderungan spiritualisasi terhadap kitab ini mengaburkan seksualitas manusia di dalamnya. Kitab suci mencacat eksploitasi perempuan untuk tujuan lain. Allah mengingatkan manusia untuk menjadi manusia, bukan untuk menjadi binatang atau Allah. Teks Kejadian 3, 4 mengisahkan manusia mengalami kejatuhan saat ia berusaha menundukkan ciptaan-ciptaan lain atau mendaku diri sebagai pencipta. Raja Salomo menikah dengan banyak perempuan demi kepentingan aliansi politik. Teks 1 Raja-raja 11, 3 menuliskan


“Ia mempunyai tujuh ratus isteri dari kaum bangsawan dan tiga ratus gundik; isteri-isterinya itu menarik hatinya daripada Tuhan.”


Pelacuran dalam Kitab Suci Ibrani

Pelacuran merupakan salah satu pelanggaran terhadap seksualitas manusia. Industri pelacuran memperdagangkan seksualitas manusia. Para pelakunya, baik pemakai atau penyedia jasa pelacuran, melihat seksualitas sebagai komoditas. Kitab suci mencatat realitas pelacuran, alasan pendorong pelaku, dan sikap masyarakat terhadapnya. Dominguez berfokus pada kisah Tamar, Rahab, dan kisah pelacur tanpa nama. Ia juga terbuka untuk membicarakan penindasan perempuan yang memiliki status lebih tinggi terhadap perempuan berstatus lebih rendah dengan mengeksploitasi seksualitasnya.

(bersambung)

No comments: