Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Wednesday, November 5, 2008

Keluar dari Ruang Gelap

Mutiara Andalas, S.J.

KELUAR DARI RUANG GELAP:

homoseksual, gereja heteroseksual, dan teologi relasi sejenis



Suatu kali saya menghadiri perayaan ekaristi di sebuah Gereja Katolik dekat kampus Universitas California di Berkeley. Karena datang lebih awal dari jadual, saya menunggu di luar sambil membaca beragam berita di papan pengumuman. Pandangan saya bertumbuk dengan undangan ekaristi untuk gay dan lesbian. Saya mengarahkan pandangan sahabat saya dari Indonesia yang telah menjadi warga negara Amerika ke berita.

“Bagaimana fenomena gay dan lesbian di Indonesia?”

“Dalam beberapa tahun terakhir terbit buku tentang kehidupan mereka. Komunitas gay menampakkan diri dalam masyarakat. Tanggapan masyarakat masih tergolong negatif. Komunitas lesbian lebih tersembunyi keberadaanya. Masyarakat lebih keras tanggapannya terhadap lesbian daripada gay.”

“Bagaimana pendapatmu mengenai gay dan lesbian dalam gereja?”

“Tanggapan gereja beragam seperti masyarakat. Beberapa gereja menyediakan pelayanan perkawinan kepada pasangan relasi sejenis. Sebagian gereja mendakwa mereka sebagai keturunan generasi Sodom yang dikutuk Allah. Mereka dengan orientasi seksual sejenis acapkali merasakan dilema hidup dalam gereja. Mereka harus memilih menjadi antara memeluk iman kristiani dengan mengurbankan seksualitas mereka, atau sebaliknya.”

“Apa tanggapanmu terhadap surat pastoral dari Kongregasi Pengajaran Iman mengenai gay dan lesbian?”

“Saya berharap gereja memanfaatkan kajian ilmu untuk mendiskusikan perkara ini. Surat pastoral juga mendorong teolog untuk melakukan studi serius tentangnya.”

“Kapan engkau menulis tema ini?”

Pembicaraan terputus oleh undangan dari mahasiswa-mahasiswi yang bertugas sebagai resepsionis Gereja yang mempersilakan kami untuk memasuki gereja.

Perhatian penulis pada teologi relasi sejenis (queer theology) pada awalnya lebih muncul dari keingintahuan akademik karena mahasiswa teologi di Amerika menjadikannya topik pembicaran hangat. Saat mencari suara teolog Asia mengenai perkara ini, penulis kesulitan untuk menemukannya. Penulis kemudian berpikir untuk merefleksikan perkara ini dengan kejujuran akademik dan sensitivitas pastoral sebagai teolog katolik Indonesia. Titik berangkatnya bukan lagi keingintahuan akademik, melainkan perjumpaan dengan citra Allah yang memiliki orientasi seksual homoseksual di Indonesia. Penulis mengikuti anjuran Bernard Haring, C.Ss.R untuk mendekati tema yang masih kontroversial ini dengan “menyintesakan refleksi hati-hati, kejujuran akademik, dan sensitivitas pastoral.”Anjuran senada diungkapkan Kongregasi Pengajaran Iman yang mengundang para pelayan Gereja untuk belajar penuh perhatian, memperhatikan secara aktif, dan memberikan anjuran yang jujur dan memadai secara teologis. Untuk membantu pembaca mengikuti alur pembicaraan, penulis mulai dengan kisah perjumpaan dengan kaum homoseksual, keragaman suara dalam gereja Katolik terhadapnya, dan kemungkinan inspirasi teologisnya.


Keluar dari Ruang Gelap

Saat pulang dari menghadiri perayaan ekaristi malam di Gereja Katedral Jakarta, penulis beberapa kali berjumpa secara kebetulan dengan kaum gay di sekeliling lapangan Banteng. Mereka berdiri di sudut-sudut gelap menanti pengguna jasa seks. Penulis kadang-kadang beruntung melihat wajah mereka sepintas yang terkena lampu terang. Suara mereka seringkali lirih sehingga penulis harus mendekati mereka untuk mendengar suara mereka secara lebih jelas. Sebagian dari mereka masih menghindari ruang terang yang akan membuka identitas mereka. Pemandangan di lapangan Banteng kurang lebih membantu kita untuk melihat keberadaan mereka. Mereka berada di tepian masyarakat, bahkan harus mengapus identitas mereka dari penglihatan masyarakat. Mereka mencari ruang aman dalam masyarakat untuk mengungkapkan orientasi seksualitas mereka. Mereka tarik menarik berada di ruang gelap untuk menyembunyikan identitasnya dan ruang gelap untuk menyingkapkan identitasnya. Lapangan Banteng merupakan perpaduan ruang gelap dan terang bagi mereka.



No comments: