Kuasa Kata: Menyapa

Saya pada awalnya mendesain blog ini sebagai gudang penyimpanan tulisan. Saya kemudian mengalihkan fungsinya sebagai ruang kemanusiaan. Layaknya seorang photografer, saya membingkai berbagai kehidupan manusia dalam beragam frame. Blog ini menawarkan senyuman, tetapi sekaligus air mata kehidupan.
Semoga setiap nama dan peristiwa dalam blog ini menyapa hidup pembaca. Kata yang baik memiliki kuasa untuk menyapa.

Mutiara Andalas, S.J.


Tuesday, January 13, 2009

Quotation Teologi Politik

Diskusi-diskusi agama dan politik seringkali pincang sejak awal karena persoalan korban dicerabut dari wilayah agama atau dikunci mati sebagai aktivitas politik. Kecerobohan ganda ini berakibat fatal terhadap kemanusiaan korban. Korban disingkirkan dari hidup agama dan politik. Gagasan kesucian politik mempertautkan kembali agama dan politik di tengah krisis kemanusiaan.

Mutiara Andalas, S.J.

27 comments:

Anonymous said...

Irwan : bagaimana sebaiknya mempertautkan agama dan politik?

Anonymous said...

Agama dan politik mau di pertautkan? Hasil pertautan mereka adalah kekacauan agama atau kekacauan politik.

Anonymous said...

Irwan : lalu apa maksudnya dengan 'korban dicerabut dari wilayah agama atau dikunci mati sebagai aktivitas politik'

Anonymous said...

sejauh saya pahami dari kalimat Padre Andalas, korban kekerasan politik tidak boleh dilihat sebagai masalah politik saja, melainkan juga masalah kemanusiaan dan agama.

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.
Mutiara Andalas said...

Andre Yuniko dan Irwan,
Komentar balik saya terhadap komentar Andre yang pertama,
pertautan agama dan politik mengembalikan kemanusiaan dalam hidup beragama dan kesucian dalam hidup berpolitik. Saya pernah menulis perkara ini berturut-turut di KOMPAS dengan judul 'Kesucian Politik' dan 'Politik Kemanusiaan.'
Saya sepakat sekali dengan komentar Andre yang kedua.

Anonymous said...

padre Andalas,saya sepakat politik disucikan oleh agama, dan agama dikonkretkan dengan politik. Itu idealnya. pengalaman konkret di Pakistan, justru agama ditunggangi oleh politik, sementara agama menikmati itu. agama tidak pernah menjadi suara kenabian. Trus piye?

Mutiara Andalas said...

Dear Andre,
dalam pertautan agama dan politik, agama memang seringkali 'kalah' entah dalam arti menggagahi politik atau digagahi politikus. Baik agama dan politik punya eros kekuasaan yang harus dikelola. Memang nggak mudah Ndre, mengubah eros kekuasaan menjadi spiritualitas kekuasaan.
Seperti kamu bilang, dalam kasus Pakistan, agama dan politik saling memanfaatkan dalam arti negatif.

Anonymous said...

Irwan : lalu bagaimana sosialisasinya. karena dialami sekarang adalah seperti yang di jelaskan Andre

Mutiara Andalas said...

Kita ambil contoh saja parpol agama di Indonesia. Kebanyakan parpol agama mulai dari keprihatinan agama (mi. Partai Damai Sejahtera - soal kebebasan beribadat, Parpol Islam - menyucikan politik dengan nilai-nilai islami). Ketika udah dapat kursi di parlemen, bisa nggak partai-partai ini memikirkan kepentingan bersama yang lebih besar dari kepentingan awalnya. Partai-partai agama cenderung ambil kuasa untuk kepentingannya saat ia harus memikirkan kepentingan bersama.Lihat aja debat di youtube antara PDIP - PKS, JIL - PBB, PDS - PKS.

Anonymous said...

apakah partai2 itu bisa memikirkan masalah kemanusian? Demokrat di Amerika, menentang habis-habisan perang Irak. begitu menang, tidak komentar banyak mengenai masalah Israel dan Palestina. Itu Amerika loh, yang sudah berabad-abad berdemokrasi. Contoh lain di Pakistan, PPP (Benazir Bhuto) menang dari partai-partai agama karena partainya bernafas sosialis, tapi perlakuan terhadap kelompok miskin dan minoritas masih tetap.
dibtuhkan peran kenabian dari para agamawan(kayak Yesus, siap jadi martir),dan moralitas yang tinggi dari politikus(kayak Nelson Mandela?). Bila tidak, perselingkuhan agama dan politik, hanya akan membawa kesengsaraan.

Mutiara Andalas said...

enar sekali. Perselingkuhan agama dan politik terjadi di banyak negara. Bagus sekali contoh yang Andre ambil dari Pakistan. Benazir Bhutto sendiri dalam bukunya Reconciliation (2008) mengaku berkali-kali dijegal baik dengan teks Quran yang telah dipelintir atau permainan kasar politik. Pembunuhan politiknya merupakan bukti politik masih dimengerti sebagai adu jotos, bahkan saling tikam.
Saya termasuk khawatir dengan kebangkitan partai-partai agama di Indonesia karena rata-rata kepentingannya masih untuk diri sendiri.

Anonymous said...

Wah nimbrung, kalo menurut saya political party hanya menggunakan agama utk mencapai tujuannya. Makanya saya lebih cenderung utk sama sekali memisahkan keduanya....just my 2 cent.

Anonymous said...

menikmati dskusi ini sambil menunggu jawaban mengenai 'penguncian korban...'

Anonymous said...

Pak Peter, kita setujui memisahkan jabatan politik (mis. presiden) sekaligus sebagai pemegang kuasa tafsir agama.Ingat Iran, dimana Ayatolah adalah kepala negara sekaligus pemimpin agama. Diskusi kita mengenai politik yang bermoral dan Kerajaan Allah itu mesti terjadi di muka bumi, melalui tindakan politik.Jadi politik dan moral tidak bisa dipisahkan.
Pertanyaan adalah moral agama yang mana? Bila semua agama mengklaim dirinya sebagai pemegang moralitas yang terbaik?

Anonymous said...

Romo,dapatkah politik disejajarkan dengan agama,karena yang namanya Agama kita berbicara tentang KEBENARAN dan Politik berbicara tentang Kepentingan dan biasanya politik kan kotor,yaitu menghalalkan segala cara untuk kepentingannya,Agama adalah mengenai hati nurani sedangkan politik duniawi?

Mutiara Andalas said...

Agnes,
persoalan korban dikunci mati sebagai aktivitas politik....dalam peristiwa 1998 korban mengetuk pintu rumah ibadat agama (masjid, kelenteng, gereja, etc.) Apakah pejabat agama membuka pintu rumah mereka untuk menjadi tempat pengungsian bagi mereka? Gerakan Tim Relawan untuk Kemanusiaan bernilai simbolik dalam relasi politik dan agama karena ia ingin merengkuh korban politik yang mencari tempat pengungsian kemanusiaan. Saya dapat cerita sebuah keluarga mengenai sebuah gereja yang menjadi tempat pengungsian sementara bagi umat yang biasa ke gereja situ. Gereja, tempat kita beribadat kepada Tuhan sekaligius menjadi tempat kita membela kemanusiaan yang berada dalam ancaman kematian dini.
Contoh lain, saat tsunami di Aceh, masjid dipenuhi jenazah korban. Ini juga bernilai simbolik agama yang dipertobatkan oleh perjumpaan dengan korban.

Mutiara Andalas said...

Andre, pertanyaan kamu menohok ulu hati agama-agama yang merasa diri sebagai pemegang tunggal klaim moralitas. Agama yang hendak mengajukan klaim tunggal atas moralitas buta mata terhadap fakta bahwa ia hidup bersama agama-agama lain. Ia hendak menempatkan dirinya sebagai pusat sementara agama-agama lain mesti tunduk padanya. Jika ini banyak terjadi dengan agama yang pemeluknya mayoritas, penyakit yang sama juga menyerang agama yang pemeluknya minoritas. Energinya tersita untuk melindungi kepentingan internalnya dan sulit diajak untuk bicara mengenai kepentingan bersama yang melingkupi semua pemeluk agama. Saya agak prihatin setiap kali dialog antaragama/publik tentang agama, wakil dari umat kristini sudah agak bisa ditebak topik pembicaraannya: penutupan gereja. Penutupan gereja tentu saja merupakan salah satu isu penting, tetapi seringkali dijadikan the issue. sementara isu kemanusiaan entah dinomorberapakan.

Mutiara Andalas said...

Dear Peter dan Alex,
Waktu Yesus diadili secara ganda oleh Mahkamah Agama dan Mahkamah Sipil, Pilatus bertanya (secara sinis),
Apasih kebenaran itu?

Anonymous said...

rwan : Disinilah dilemmanya mengenai kebenaran itu. Ketika dua orang saling berhadapan. Sisi kiri dari sudut pandang satu orang adalah sisi kanan dari orang yang ada dihadapannya. Politik seharusnya membela kepenting bagi pendukungnya, sedangkan agama seharusnya lebih bersifat universal - yang seharusnya ajaran tsb berlaku untuk semua orang. Sayangnya kalau ajaran agama di pelintir untuk kepentingan kelompok. Kebenaran itu menjadi sangat subjective.

Mutiara Andalas said...

Dear Irwan,
dalam kasus ini, menurut hemat saya, persoalannya bukan antara dua kebenaran, melainkan antara kebenaran melawan kekerasan institusional yang kemudian berlanjut membohongi publik.

Anonymous said...

itulah susahnya kalau agama hanya memikirkan urusan instusi (liturgi, berapa cacah jiwa umatnya, berapa tempat ibadat yang ada dll) sementara yang lebih penting seperti masalah kemanusiaan terlupakan. Yesus sendiri mengkritik keras praktek ini, kemanusiaan itu lebih penting dari Sabat. Menurutku, apapun bentuk dialog antar agama (kehidupan,spiritual,teologi) harus bisa menjawab masalah kemanusiaan.

Anonymous said...

Irwan : mungkin ada baiknya Romo menjelaskan/mendefinisikan kebenaran yang dimaksud. karena kebenaran sifatnya sangat subjective and sangat luas. (tentunya dalam kerangka dan sikap kemanusian universal).
menurut saya institusi kekerasan, baik yang bernuansa politik maupun kriminal, sudah berakar dari abad ke abad dalam sejarah kemanusiaan. Meskipun demikian Eropa dan America dapat mencapai kesepakatan untuk mengedepankan kemanusian dalam systems hukum dan communitas. apakah karena peran agama atau sekulerisasi?

Mutiara Andalas said...

Andre, saya sepakat sekali dengan kamu. Dalam tiga tahun terakhir ini, saya mengembangkan teologi politik kemanusiaan. Tujuannya persis seperti yang kamu ungkapkan: mengembalikan kemanusiaan dalam pembicaraan teologi politik atau dalam hidup beriman menggereja.

Mutiara Andalas said...

Irwan, dalam bahasa biblis, kebenaran itu liberatif. Teks ini banyak dipakai oleh teolog Peru Gustavo Gutierrez.
Kekerasan telah menyusup dalam masyarakat sebagai peristiwa sehari-hari sehingga kita kurang peduli terhadapnya. Kalau kita pulang ke Indonesia, kriminalitas sekarang telah menjadi tayangan hampir setiap jam.
Pertanyaan Pilatus kepada Yesus bukan menanyakan definisi kebenaran, tetapi politik yang dianutnya sejak awal mengabaikan kebenaran.

Anonymous said...

Irwan : saya jadi ingat satu kalimat di Bible "The truth set you free".
Demikian juga kurang lebih teks yang ada di patung liberty - "Give me your tired, your poor, .....Send these, the homeless, tempest-tossed to me, I lift my lamp beside the golden door!" Dan tentu saja kebenaran itu sifatnya universal

Mutiara Andalas said...

I totally agree with you.