
Kail dan Ikan
Hari minggu kemarin beberapa teman mengajak saya berputar-putar mal terbaru di ibu kota.
“Saya selalu mampir ke mal setiap akhir pekan untuk buang kepenatan,” kata Lydia.
“Hitung-hitung sambil piknik keluarga. Saya biasanya minta pembantu untuk menemani anak ke area bermain. Saya sama suami lalu belanja atau sekedar nongkrong di café,” kata Jenny.
“Mal seperti ini adalah kenisahnya pemeluk kapitalis,” kata Adil yang sehari-hari terlibat dalam gerakan orang miskin di ibukota.
Setelah mencicipi menu
Saat melewati mereka,
Adil menahan tangan keduanya.
“Kita tidak bisa mengentaskan mereka dari kemiskinan dengan memberi uang receh. Kalau hendak mengentaskan mereka, kita harus memberikan kail bukan ikan.”
Wajah Lydia dan Jenny merengut dan menoleh pada saya untuk terlibat dalam pembicaraan.
“Jadi serba salah deh kalau jalan bareng aktivis.”
“Peminta-minta seringkali membutuhkan ikan terlebih dahulu agar tangan mereka kuat untuk memegang kail,” kata saya menengahi pembicaraan.
3 comments:
Romo, saya sungguh terkesan dg jawaban Romo yg bijaksana... kebijaksanaan yg sungguh jelas bukan buah pikir manusia.
makasih. Ini sebenarnya agak nyontek dari Teresa Calcutta.
Romo ini memang rendah hati, kalau saya boleh rephrase:
"agak" nyontek = ter-inspirasi.
:)
Post a Comment